Jujur
adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan
tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan
belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara
kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman,
baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki
banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan
sebagainya.
Jujur
merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat
jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur
adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah
kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan
kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha
untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu
jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan,
dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan
selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.”
Definisi
Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan
yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka
dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu
ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan
suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang
berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam
batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang
yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid,
padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara
lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia
menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman,
sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam
Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq
asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan
keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan
bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu
menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah
berfirman,
“Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran
mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan
orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Keutamaan
Jujur
Nabi
menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah
akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya
kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan
adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan
berbuat bajik kepada sesama.
Sifat
jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga
tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang
tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai
derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran
senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang
diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual
dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya
mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan,
mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka
menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang
yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam
kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang
yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja,
orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa
tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan
begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah
kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya,
memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta.
Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah
indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang
pendusta.
Orang
yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia.
Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin
Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak
akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak
mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah
perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab,
memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca,
berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia
dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya.
Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan
manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama.
Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya,
zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk
Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat.
Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah.
Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para
pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan
merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka
dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi
orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan
ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang
yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan.
Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar,
sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya.
Itulah keberuntungan yang paling besar.”
(QS. al-Maidah: 119)
“Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah
(janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi
jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih
baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Nabi
bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu,
sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan,
(mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam
Kejujuran
- Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
- Jujur dalam ucapan. Wajib bagi
seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan
jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling
tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
- Jujur dalam tekad dan memenuhi
janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan
kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka
yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga
ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada
Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah
kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka,
setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah:
75-76)
- Jujur dalam perbuatan, yaitu
seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal
lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika
sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan
berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
- Jujur dalam kedudukan agama. Ini
adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut
dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini
mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan
tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan
dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi
perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai
kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan
(kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya
pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur.
Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada
kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu
tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang
orang lain mengetahuinya.
Khatimah
Orang
yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan
keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi
untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas
kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan
katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang
benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah
kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)
Allah
juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan
buah tutur yang baik.
“Dan
jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat
kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada
Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia
dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat
kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa
keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur
dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai
kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Di
sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah
dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan
keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang
yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua:
mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan
diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab
itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan
kejujuran, sebagaimana firman Allah,
“(Juga)
bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)
Lawan
dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman
Allah,
Kedustaan
akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke
dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya
amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan,
perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi
kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur
dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.
***
Artikel www.muslim.or.id
Dosa
Menyontek Saat Ujian J
Sebentar lagi adik-adik
kita yang duduk di bangku SMA akan menjalani UMPN PNJ. Budaya jelek yang masih
laris di tengah-tengah mereka adalah menyontek atau membawa “kepekan” kertas
berisi rangkuman saat masuk ke ruang ujian.
Islam Melarang Berbuat Curang dan Berbohong JJ
Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ
غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami, maka ia tidak
termasuk golongan kami.” (HR. Muslim no. 101, dari
Abu Hurairah).
Hadits di atas ada kisahnya
ketika seorang pedagang mengelabui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak jujur dalam jual
belinya. Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ
يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ
الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ
جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya,
kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya,
“Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut
terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak
meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah,
barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102)
Ini berarti setiap orang
yang menipu, berbohong, berbuat curang, mengelabui dikatakan oleh Nabi bukanlah
termasuk golongan beliau. Artinya, diancam melakukan dosa besar. Menyontek pun
demikian.
Akibat Berbuat Curang Saat Ujian JJ
Dalam hadits dari sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur
dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى
إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ
الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ
كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur,
karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya
kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur
dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang
yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta
akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka.
Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Dalam hadits lainnya
disebutkan tiga tanda munafik,
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia
dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanat, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut
berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti kelakuan munafik. Karena
yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang
disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki
tanda-tanda tersebut” (Syarh Muslim, 2: 47).
Akibat mencontek pun dapat
dirasakan jangka pendek. Siswa menjadi tidak pede dengan jawabannya. Padahal
barangkali jawabannya lebih benar daripada milik temannya. Menyontek juga
membahayakan diri sendiri karena bila ketahuan guru, bisa dipastikan nilai 0.
Bagi yang dicontek, tidak menyesalkah bila yang menyontek mendapat hasil ujian
yang lebih tinggi daripada Anda yang dicontek? Artinya, kerjasama saat di
‘medan perang’ ujian adalah kesia-siaan, karena teman Anda hanya memanfaatkan
diri Anda, dan Anda tidak sadar telah dimanfaatkan. Hal ini sering terjadi.
Yang namanya kompetisi, maka setiap peserta harus bersaing, bukannya malah
bekerja sama. Karena yang namanya juara itu hanya dimiliki oleh satu orang,
bukan tim / kolektif.
Adapun bahaya jangka
panjang seperti kata pepatah, “Siapa
yang menanam, dia akan menuai hasilnya kelak.” Kalau itu adalah kejelekan yang ditanam,
maka tunggu hasil jeleknya kelak. Bila seorang siswa terbiasa menyontek, maka
kebiasaan itulah yang akan membentuk diri. Beberapa karakter yang dapat
‘dihasilkan’ dari kegiatan menyontek antara lain: mengambil milik orang lain
tanpa ijin, menyepelekan, senang jalan pintas dan malas berusaha keras, dan
kehalalan pekerjaan dipertanyakan. Bisa dipastikan, saat siswa sudah dewasa dan
hidup sendiri, tabiat-tabiat hasil perilaku menyontek mulai diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti mencuri, korupsi, manajemen buruk, pemalas tapi
ingin jabatan dan pedapatan tinggi.
Berakibat Buruk pada Ijazah dari Hasil Contekan JJ
Akibat menyontek itu
sendiri yaitu jika pekerjaan diperoleh dari ijazah hasil menyontek, maka kata
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنَّ
الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Seorang hamba boleh jadi terhalang rizki
untuknya karena dosa yang ia perbuat.” (HR. Ahmad 5: 282,
sanadnya dhoif sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Mending Nilai Pas-Pasan Tetapi Jujur JJ
Mending nilai pas-pasan
daripada berbuat curang dan berbohong dengan menyontek. Prinsip inilah yang
harus ditanamkan oleh orang tua pada anak-anaknya. Harusnya orang tua
mengajarkan kepada anak-anak supaya jujur dan mencari ridho Allah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuliskan surat kepada Mu’awiyah.
Isinya sebagai berikut,
مَنِ
الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ
وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى
النَّاسِ
“Barangsiapa mencari ridho Allah sedangkan
manusia murka ketika itu, maka Allah akan bereskan urusannya dengan manusia
yang murka tersebut. Akan tetapi barangsiapa mencari ridho manusia, namun
membuat Allah murka, maka Dia akan serahkan orang tersebut kepada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Begitu pula anak harus
pahami bahwa membahagiakan orang tua dengan lulus dalam ujian tidak mesti
dengan jalan yang diharamkan, tempuhlah jalan yang Allah ridhoi.
Semoga Allah memudahkan
adik-adik kita yang sebentar lagi menempuh UMPN. Semoga Allah SWT mendatangkan
kemudahan dan juga memberikan taufik kepada mereka untuk berlaku jujur dan
menjauhi kecurangan dan semoga lulus uian adik-adik J.
—
“Lelah
dalam belajar itu hal yang wajar, tetapi jangan sampai menyerah dalam belajar” J
Posting Komentar